Senin, 27 Juni 2011

Dialek Manus/Toe’/Bai’ Di Manggarai Timur

Bagian timur Manggarai yang telah menjadi kabupaten tersendiri, boleh dikatakan sebagai wilayah yang cukup unik dari segi linguistik. Seperti telah disebutkan di atas, terasa pengaruh besar dari bahasa-bahasa Flores Tengah. Malahan beberapa daerah menggunakan bahasa tersendiri yang sulit dimasukkan ke dalam rumpun bahasa Manggarai, seperti bahasa Rembong di utara, Kepo dan Rongga di selatan. Sedangkan dialek-dialek seperti Mbaen dan Bai’/Toe’ banyak mengasimilasi dan mengabsorbsi kosakata dari lingu franca Manggarai.
 Dialek Toe’/Bai’ mencakupi daerah kedaluan (dulu) Manus., sehingga sering disebut dialek/bahasa Manus. Para pengguna dialek ini sering di sebut Ata Manus atau Ata Bai’. Akan tiba waktunya untuk menelusuri apa arti kata Bai’ secara etimologis. Di bawah ini penulis mencoba menguak beberapa rahasia dari dialek yang secara ironis dikenal sebagai dialek „pukinde” (makian durhaka yang ditujukan kepada ibu, digunakan hanya di wilayah Manus).
Di samping akcent dan logat yang spesifikal, ciri khas dari dialek ini adalah munculnya banyak serapan dari bahasa Flores Tengah, seperti seruan le dan ko pada akhir kalimat-kalimat informatif yang membutuhkan ketegasan. Misalnya kalimat informatif: Hari ini udara sangat panas – dalam dialek Manus berbunyi sbb: Leso ghoo kolan ko. Seandainya hanya berbunyi: Leso’ ghoo kolan, maka kalimat tersebut tidak berniat menegaskan aspek sensasionalnya. Demikian juga dengan penggunaan le di akhir sebuah kalimat, sebagai permintaan halus, misalnya: Bagi agu akun le – Tolong bagikan denganku. Atau juga berarti penegasan, misalnya: Ata itu muing le – Memang demikianlah adanya.
Yang menarik juga adalah seruan ma/nde’ pada akhir kalimat, yang sering menggambarkan penekanan aprobatif (mengakui) sebuah informasi: Di’a mbaru dise’, ma/nde’… – Wah, rumah mereka indah sekali; dan juga menekankan aspek „resignatif” atau kekesalan di dalam permohonan: Bagi agu akun, ma/nde’ – tolong bagikan dengan saya. Di dalam kalimat ini, seruan ma/nde’ menegaskan bahwa kegiatan „membagi” itu adalah keharusan yang entah apa sebabnya diabaikan oleh pelaku. Ma ditujukan kepada lawan bicara laki-laki, sedangkan nde’ kepada jenis kelamin perempuan. Arti ketiga dari seruan personal ma’/nde’ adalah menggarisbawahi aspek „ancaman” di dalam kalimat, dengan aksen yang sedikit dipertinggi pada saat menyebutkan ma’/nde’.
 Dialek Manus sebenarnya adalah bahasa Manggarai yang “diperkasar” sebutannya, disamping banyak kata serapan dari bahasa lain di Flores Tengah dan juga kata-kata yang memang hanya masuk dalam golongan bahasa Manus. Hampir setiap kata yang berakhir dengan vokal, selalu dibuat tekanan apostrofik atau lazim dikenal sebagai glottal stop. Misalnya: do menjadi do‘ yang berarti banyak; atau pau menjadi pau‘ (mangga). Sama seperti dialek SH, dialek ini cukup sering mengubah lafalan huruf-huruf tertentu dari bahasa Manggarai, misalnya: C (di awal kata) menjadi S (cesua – sesua = lusa), J menjadi Z; NG (di akhir kata) menjadi N (jarang – zaran = kuda); E (di akhir suku kata) menjadi O (enem – enom = enam; meseng – mesong = kemarin); H menjadi GH (hang – ghan = makan/makanan).
Patut dicatat bahwa kendatipun perbedaan yang ada, dialek Manus tetap mengakui cukup banyak pepatah dan istilah adat Manggarai dalam dialek aslinya (dialek Manggarai Tengah), meskipun lafalannya kadang-kadang diperkasar. Misalnya: Paang olo ngaung musi menjadi Paan olo ngaung musi (istilah untuk sebuah keluarga atau kekerabatan); atau: Molor du ngon, lomes du kolen menjadi To’on molor lomes kole’n. (menggambarkan keberhasilan dalam meraih ilmu atau pengetahuan)

Tari Caci, Uji Nyali Pria Manggarai

TARI CACI Sepasang penari caci saling memukulkan cambuk ke lawan masing-masing pada pagelaran seni yang diselanggarakan RRI Kupang, belum lama ini.
  ayunan keras pecut dari seorang pria langsung menimbulkan bunyi seperti petir, menghentak ratusan penonton Panggung Hiburan yang digelar Radio Republik Indonesia (RRI) Stasiun Kupang. Empat pria muda yang memegang pecut serta menggunakan busana khas Manggarai yang sudah dilengkapi tameng, dan pelindung lainnya badan, saling unjuk kebolehan.
Dua di antara empat orang itu saling berhadap-hadapan, seorang diantaranya mengambil posisi siap menyerang sementara yang lainnya mengambil posisi bertahan. Dan, sebelum menyerang, pecut tersebut di kibas-kibas sehingga menyebabkan bunyi-bunyi yang keras dan tajam, tak ubahnya petir.
 Tidak lama kemudian, seorang di antaranya mengibaskan pecut ke tubuh seorang yang mengambil posisi bertahan dan penoton pun berteriak histeris. Para penari cari terus saja beraksi mengikuti irama musik dan lagu.
 Empat pria ini merupakan bagian dari grup Tari Caci dari Sanggar Wela Rana Pauk-Kupang yang tampil membawakan atraksi caci.
 Tarian ini dibawakan oleh empat orang dan didukung delapan orang penyanyi tradisional untuk mengiring penampilan grup ini. Empat orang itu adalah Anyok Fanis Sina, Roby Yanuarius, Renold Yoland dan Dolfus Jama.
 Mereka yang membawakan atraksi caci ini merupakan gambaran pria Manggarai yang memiliki nyali untuk bertarung. Mereka saling serang dan bertahan, bahkan saling melukai. Namun tidak ada dendam di antara mereka. Yang ada hanya suka cita.
 Caci merupakan tarian atraksi dari bumi Congkasae- Manggarai. Hampir semua daerah di wilayah ini mengenal tarian ini. Kebanggaan masyarakat Manggarai ini sering dibawakan pada acara-acara khusus.
 Peralatan dalam tarian ini antara lain cambuk (larik), perisai (giliq), pelindung dada, pelindung kaki dan lutut (bik) dan pelindung kepala (pangga).
 Semua bahan ini terbuat dari kulit kerbau. Masing- masing pihak mendapat kesempatan memukul dan pihak lainnya menangkis. Dan masing-masing mendapat giliran untuk memukul dan menangkis.
 Giring-giring yang digantungkan di belakang pinggangnya agar pada saat menari dapat mengeluarkan irama atau nada yang merdu didengar dalam mengikuti irama gong yang dibunyikan oleh kelompoknya. Tarian ini diiringi musik tradisional Manggarai dan serta syair-syair berbahasa Manggarai.
 Servas S Budiman, anggota Sanggar Wela Rana Pauk ini mengatakan, tari caci saat ini sudah kurang populer di kalangan anak muda di Manggarai, apalagi mereka yang sudah tinggal di kota. Ada juga yang masih meminati tarian ini namun tidak memahami makna yang terkandung dalam tarian ini.
 Menurutnya, caci sebenarnya merupakan gambaran suka ria dan cinta kasih antara petarung. Sebab, tarian ini berasal dari kasih sayang seorang kakak pada adiknya. "Jadi tidak ada dendam dalam pertarungan ini.
 Caci sendiri dari legendanya menggambarkan begitu besar cinta kasih sang kakak pada adik. Sehingga tradisi kasih sayang itu disalurkan dalam bentuk ini, sehingga para petarung tidak boleh dendam meski harus mengalami luka akibat terkena pecut lawannya," jelas anak muda asal Manggarai ini.

Wae Mokel River paangleleng Manggara timur Flores

Bahasa Manggarai

 Keunikan Manggarai ditinjau dari sudut sosio-etno linguistic adalah sebuah fenomena budaya yang kaya dan bernilai luhur. Entah di Manggarai barat, tengah, mau pun timur bahasa Manggarai adalah identitas daerah yang begitu kokoh. Seluruh masyarakat Manggarai merasa satu ketika media komunikasi ini hadir sebagai mediator dalam setiap perilaku kehidupan sosial diiringi tata cara adat yang berciri khas setempat. Salah satu contoh yang sering ditemukan ialah acara penyambutan tamu pejabat yang selalu diwarnai oleh tata cara adat dengan penggunaan bahasa Manggarai (style) yang santun dan indah serta simbol-simbol tradisi yang masih kuat seperti seekor ayam dan robo tuak (minuman arak dari sadapan pohon aren yang tersimpan dalam sebuah wadah dari sejenis labu yang sudah kering). Keindahan budaya tersebut adalah warisan leluhur orang Manggarai yang wajib dituruntemurunkan.
 Ahli bahasa (linguis) yang pernah mengadakan penelitian danmenghasilkan karya dokumenter bahasa Manggarai adalah Jilis AJ Verheijen SVD. Misionaris berkebangsaan Belanda inilah yang pertama kali menggunakan istilah barat, tengah, timur dalam konteks wilayah bahasa Manggarai (linguistic area) berdasarkan hasil studi dan penelitiannya dan berhasil membuat Peta Bahasa Manggarai. Bahkan menurut beliau, bahasa Manggarai terdiri dari empat dialek mayor yaitu dialek Manggarai Barat, dialek Manggarai Tengah, dialek Manggarai Timur, dan dialek SH. Dinamakan dialek SH karena masyarakat pemakai bahasa Manggarai di daerah Kolang, Pacar, Berit, Rego, Nggalak menyebut konsonant /s/ menjadi /h/ seperti pada kata ‘salang=jalan’ menjadi ‘halang’. Masing-masing wilayah dialek memiliki variasi-variasi bahasa (variant) yang menarik dan cukup banyak. Bayangkan, Manggarai Timur sendiri memiliki 6 sub dialek yaitu Rongga, Mbaen, Baiq, Pae, Toe, Ning dengan spesifikasinya masing-masing, namun semuanya tetap dikenal sebagai bahasa Manggarai.
 Demikian halnya di Manggarai Barat ada dialek Kempo, Boleng, Mata Wae, Welak, sedangkan Manggarai Tengah lebih monodialek dengan distingsi intonasi yang sangat khas. Oleh karena itu kalau orang Manggarai tengah berbahasa Indonesia, maka logat dan intonasi Manggarai tengah sering terbawa-bawa dalam penggunaan bahasa Indonesia (Sumber: Willem Berybe ‘Manggarai Noun and Verb Formation, A Descriptive Analysis of The Morphology of The Manggarai Tengah Dialect (A Comparative Study); Thesis, English Department Fakultas Kegu-ruan Unversitas Negeri Nusa Cendana Kupang, 1982).

Sabtu, 25 Juni 2011

Tari Caci, Uji Nyali Pria Manggarai

TARI CACI Sepasang penari caci saling memukulkan cambuk ke lawan masing-masing pada pagelaran seni yang diselanggarakan RRI Kupang, belum lama ini.
  ayunan keras pecut dari seorang pria langsung menimbulkan bunyi seperti petir, menghentak ratusan penonton Panggung Hiburan yang digelar Radio Republik Indonesia (RRI) Stasiun Kupang. Empat pria muda yang memegang pecut serta menggunakan busana khas Manggarai yang sudah dilengkapi tameng, dan pelindung lainnya badan, saling unjuk kebolehan.
Dua di antara empat orang itu saling berhadap-hadapan, seorang diantaranya mengambil posisi siap menyerang sementara yang lainnya mengambil posisi bertahan. Dan, sebelum menyerang, pecut tersebut di kibas-kibas sehingga menyebabkan bunyi-bunyi yang keras dan tajam, tak ubahnya petir.
 Tidak lama kemudian, seorang di antaranya mengibaskan pecut ke tubuh seorang yang mengambil posisi bertahan dan penoton pun berteriak histeris. Para penari cari terus saja beraksi mengikuti irama musik dan lagu.
 Empat pria ini merupakan bagian dari grup Tari Caci dari Sanggar Wela Rana Pauk-Kupang yang tampil membawakan atraksi caci.
 Tarian ini dibawakan oleh empat orang dan didukung delapan orang penyanyi tradisional untuk mengiring penampilan grup ini. Empat orang itu adalah Anyok Fanis Sina, Roby Yanuarius, Renold Yoland dan Dolfus Jama.
 Mereka yang membawakan atraksi caci ini merupakan gambaran pria Manggarai yang memiliki nyali untuk bertarung. Mereka saling serang dan bertahan, bahkan saling melukai. Namun tidak ada dendam di antara mereka. Yang ada hanya suka cita.
 Caci merupakan tarian atraksi dari bumi Congkasae- Manggarai. Hampir semua daerah di wilayah ini mengenal tarian ini. Kebanggaan masyarakat Manggarai ini sering dibawakan pada acara-acara khusus.
 Peralatan dalam tarian ini antara lain cambuk (larik), perisai (giliq), pelindung dada, pelindung kaki dan lutut (bik) dan pelindung kepala (pangga).
 Semua bahan ini terbuat dari kulit kerbau. Masing- masing pihak mendapat kesempatan memukul dan pihak lainnya menangkis. Dan masing-masing mendapat giliran untuk memukul dan menangkis.
 Giring-giring yang digantungkan di belakang pinggangnya agar pada saat menari dapat mengeluarkan irama atau nada yang merdu didengar dalam mengikuti irama gong yang dibunyikan oleh kelompoknya. Tarian ini diiringi musik tradisional Manggarai dan serta syair-syair berbahasa Manggarai.
 Servas S Budiman, anggota Sanggar Wela Rana Pauk ini mengatakan, tari caci saat ini sudah kurang populer di kalangan anak muda di Manggarai, apalagi mereka yang sudah tinggal di kota. Ada juga yang masih meminati tarian ini namun tidak memahami makna yang terkandung dalam tarian ini.
 Menurutnya, caci sebenarnya merupakan gambaran suka ria dan cinta kasih antara petarung. Sebab, tarian ini berasal dari kasih sayang seorang kakak pada adiknya. "Jadi tidak ada dendam dalam pertarungan ini.
 Caci sendiri dari legendanya menggambarkan begitu besar cinta kasih sang kakak pada adik. Sehingga tradisi kasih sayang itu disalurkan dalam bentuk ini, sehingga para petarung tidak boleh dendam meski harus mengalami luka akibat terkena pecut lawannya," jelas anak muda asal Manggarai ini.

Kisah dibalik Tarian Caci

Pada jaman dahulu hiduplah seorang kakak bersama adiknya di sebuah kawasan di Manggarai. Keduanya merupakan anak yatim piatu, namun mereka memiliki satu ekor kerbau (ka'ba).
 Suatu ketika, kakak dan adik ini berjalan-jalan di hutan sambil mengembalakan kerbau. Dan saat jalan-jalan itu, sang adik tanpa sengaja terperosok ke dalam sebuah lubang. Sang adik pun langsung berteriak minta tolong pada sang kakak, dan saat yang bersamaan sang kakak pun langsung berusaha menolong sang adik.
Cara yang dilakukan adalah mencari tali untuk membantu mengeluarkan sang adik dari dalam lubang. Upaya itu tidak berhasil karena sang adik selalu gagal dikeluarkan dari dalam lubang karena tali tidak bisa dijangkau oleh sang adik. Saat berusaha menolong sang adik, sang kakak mengatakan asa nana? (sudah?) dan sang adik menjawab toe di (belum).
 Karena kecintaan yang begitu besar pada sang adik, sang kakak kemudian rela menyembeli kerbau satu- satunya milik mereka. Ekor kerbau kemudian dijadikan tali untuk mengeluarkan sang adik. Upaya ini berhasil mengeluarkan sang adik dari lubang.
 Karena rasa bahagia itu, kedua kakak beradik ini kemudian momotong kerbau. Daging kerbau dimakan, sementara kulit kerbau ini dijadikan perisai.
 Sebagai rasa suka cita, kedua kakak beradik ini saling adu ketangkasan memukul dengan tali dari kulit kerbau.
 Kulit kerbau tersebut digunakan untuk alas dada (bik/semacam body protector) dan perisai (giliq), tali (larik) yang kemudian digunakan sebagai cambuk serta pelindung kepala (pangga)
 Setelah kakak dan adik membuat dan memasang berbagai properti tersebut ke tubuh mereka, keduanya bertarung dengan senang. Selanjutnya tradisi ini diberi nama caci.
 Makna cerita ini mempertegas bahwa caci bukanlah tarian atraksi saling unjuk kekuatan atau kecekatan, melainkan tarian yang menggambarkan keakraban dan persaudaraan. Tarian ini menggambar suka cita masyarakat Manggarai.
 Dalam pertarungan penari caci  terkadang salah satu bahkan kedua penari mengalami luka serius atau berdarah. Namun, masing- masing tidak dendam. Sebab, tarian caci merupakan wujud cuka cita dan persaudaraan.
 Sayangnya, banyak anak muda Mangarai yang tidak paham makna di balik tarian ini. Bahkan, makin sedikit anak muda yang mau memainkan tarian ini.